Jargon merupakan salah satu instrumen tak terpisahkan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Mulai zaman pra-kemerdekaan, jargon memegang peran penting dalam menjaga semangat dan fokus kita dalam mengawal visi misi kita sebagai bangsa.
Maka tidak mengherankan kalau sebagian besar tokoh pergerakan sangat pandai membuat jargon, beretorika, dan memainkan psikologi massa. Sebut saja Bung Karno. Sang raja podium.
Namun semakin ke sini, jargon menjadi sebuah ironi. Alih-alih menjadi pelecut dan penyemangat, jargon seringkali menjadi sebuah paradoks. Yang menjadi bumerang bagi yang mempunyai jargon itu sendiri. Lebih-lebih di zaman ketika politik transaksional semakin merajalela. Jargon semakin tiada arti. Karena hampir di setiap pemilu dan pilkada, kita dijejali jargon demi jargon. Yang seringkali hanya menjadi pemanis bibir saja, sebelum akhirnya dilupakan begitu saja ketika sudah jadi.
Pemerintah pun setali tiga uang. Masih rajin menggunakan jargon demi jargon untuk mempromosikan kebijakannya. Namun sayangnya, produktivitas pemerintah dalam membuat jargon tidak diimbangi dengan produktivitas dalam membuat kebijakan yang terukur, terarah, dan tepat guna. Padahal yang kedua itu yang dibutuhkan oleh para pelaku kebijakan.
Salah satu jargon yang ramai dibahas akhir-akhir ini adalah merdeka belajar. Secara konsep, merdeka belajar itu sangat bagus. Karena memang seperti itulah pendidikan seharusnya. Dan seperti itulah pendidikan yang diharapkan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan manusia.
Tapi sayangnya, dalam tataran teknis, konsep merdeka belajar yang sering dibicarakan oleh kementerian pendidikan sampai saat ini masih sangat abstrak. Oleh karenanya, perlu diterjemahkan dalam aturan tertulis sehingga para guru sebagai pelaku kebijakan tidak kebingungan.
Daripada pemerintah mengampanyekan merdeka belajar, alangkah lebih baiknya pemerintah mengampanyekan merdeka membaca. Karena secara teknis, merdeka membaca itu jauh lebih mudah untuk diimplementastikan. Karena kuncinya adalah menghadirkan bacaan-bacaan berkualitas kepada peserta didik. Yang bisa diakses secara mudah dan murah, bahkan gratis. Kemudian biarkan anak-anak menentukan sendiri buku yang ingin mereka baca. Inilah yang dinamakan merdeka membaca.
Karena sampai saat ini, masalah pendidikan kita adalah kesenjangan kualitas sarana dan pra sarana pendidikan. Termasuk di dalamnya ketersediaan buku dan perpustakaan. Maka dari itu, perlu diambil langkah strategis untuk menghadirkan bacaan-bacaan berkualitas kepada semua anak-anak di Indonesia.
Salah satu caranya adalah dengan membuat undang-undang yang mewajibkan adanya alokasi anggaran untuk perpustakaan desa di dalam dana desa. Dengan adanya alokasi dana bagi perpustakaan, maka 2 masalah sekaligus akan teratasi. Rendahnya daya beli buku dan rendahnya daya literasi.
0 comments:
Posting Komentar