24 Februari 2021
20 Februari 2021
Tafakkur
Target saya selama usia 30-an ini sederhana saja. Lebih banyak bertafakkur. Sebagaimana yang didokumentasikan secara bagus dalam salah satu qashidah paling saya sukai sepanjang masa.
Bicara soal sholawat dan qashidah, jadi kangen masa-masa di Ponpes Darul Falah, Jepara dulu. Karena di sela-sela waktu ngaji dan jamaah, ndalem selalu memutarkan qashidah yang dihubungkan ke sound system pondok. Jadi lumayan buat refreshing setelah menjalani rutinitas pondok yang cukup berat dan melelahkan.
Dan itu sudah 18 tahun yang lalu.
Sudah begitu jauh salah satu momen terbaik dalam hidup saya berlalu. Tapi kenangannya masih terus tertanam kuat di dalam hati. Mondok di Jepara mengajarkan saya, bahwa ukuran bagi cinta bukanlah waktu, melainkan kualitas pengalaman hati. Banyak orang ditakdirkan untuk hidup bersama secara singkat, tapi meskipun begitu, cinta yang tertanam begitu kuat. Sehingga tak pernah terpikir sedetik pun untuk menjalin hubungan lagi, bahkan setelah pasangan berpuluh tahun melangkah menuju keabadian.
Karena kualitas pengalaman hati itu tidak bisa ditukar dengan apapun. Pengalaman terbaik yang pernah kita alami dan rasakan, akan selalu tertanam kuat dalam hati kita. Dan di situlah cinta berada. Dalam dimensi yang tidak pernah lekang oleh perubahan tempat dan waktu. Dalam dimensinya sendiri, dimensi hati.
Menuju 10 Yang Ketiga
Sudah 12 tahun berselang sejak pertama kali menginjakkan kaki di ITS, kampus yang banyak mewarnai hari-hariku di masa peralihan antara usia belasan dengan dua puluhan.
Kini Kay sudah berusia 4 tahun. Sudah mulai lancar bersepeda tanpa roda bantuan lagi. Padahal rasanya baru kemarin saja dia lahir. Sungguh, begitu cepat waktu berlalu.
Dan di malam ini, aku sudah berada tepat di depan gerbang usia 30-an. Mungkin inilah saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal, "Mas-mas", dan selamat datang "Om-om".
Terima kasih banyak, Tuhan.
Terima kasih banyak atas semuanya.
رضيت بالله رباً وبالإسلام ديناً وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا ورسولا
Terima kasih juga kepada semua keluarga dan teman-teman yang sudah membuat perjalanan ini sungguh menyenangkan. Meskipun tidak jarang saya menyesali masa lalu, tapi kalau disuruh kembali ke masa lalu dan diberi hak untuk memilih keluarga dan teman-teman lagi, dengan yakin saya akan memilih keluarga dan teman-teman saya sekarang ini.
Tuhan sungguh begitu baik. Yang tidak baik itu saya, dan semua perilaku saya selama ini. Yang telah menyia-nyiakan semua yang telah Dia beri dan anugerahkan.
Sekali lagi, terima kasih, Tuhan.
Terima kasih.
Penasaran Dulu, Belajar Kemudian
Mengapa banyak orang suka sulap? Karena sulap membuat kita takjub dan penasaran.
Diakui atau tidak, para guru harus belajar pada tukang sulap. Karena ilmu seringkali dihadirkan sebagai beban, bukan sebagai hal yang membuat takjub dan penasaran.
Tugas utama pendidikan sebenarnya adalah membiasakan peserta didik untuk penasaran. Dan tugas guru adalah memantik rasa penasaran itu.
Ketika Ilmu dihadirkan sebagai beban, maka ia akan dihindari dan cenderung diabaikan. Maka dari itu, Ilmu harus dihadirkan sebagai pembawa rasa penasaran. Karena dengan begitu, peserta didik tidak akan pernah berhenti untuk mencarinya. Dengan tanpa beban, tapi demi mengobati penasaran.
Penasaran dulu, belajar kemudian.